Rabu, 17 September 2008

Senin, 15 September 2008

Sekilas Bahasa Korea

Introduction

Bahasa korea dan jepang sedikit banyak bersaudara. Yah, seperti bahasa inggris dan perancis lah. Disamping itu, kedua bahasa ini terkait erat dengan bahasa cina. Banyak sekali, sampe sekarang, istilah istilah yang dipinjam dari bahasa cina. Yang paling sering dan masih digunakan sampai sekarang adalah sistem penomoran (il, i, sam, sa...) yang digunakan berdampingan dengan sistem penomoran asli korea. Selain cina, Korea juga banyak menggunakan kata kata pinjaman dari bahasa jepang. Mungkin karena mereka memang pernah dijajah sama jepang. Lalu yang tak kalah banyak adalah bahasa inggris. Terutama benda benda yang memang hanya ada dalam bahasa tersebut. Paling2 mereka hanya menyesuaikan spellingnya saja

Manurut akar rumpunya, bahasa korea dikelompokan sebaga bahasa altaic. Bahasa ini memiliki akar rumpun yang sama seperti Manchu-Tungusic, Mongol dan turkic. Salah satu tonggak terbesar dalam sejarah linguistik korea, adalah pada saat pemerintahan Raja Sejong pada abad ke 15. Bersama kaum cerdik pandai istana, mereka menciptakan alfabet korea/ aksara yang disebut 'Hangeul'. Tidak banyak lho bahasa yang punya aksara sendiri. Di indonesia saja, bahasa yang punya aksara sendiri adalah bahasa jawa, lampung dan beberapa bahasa daerah lain. Nggak banyak koq. Soalnya memang di negara kita budaya lisan lebih kuat daripada tulisan

Agglutinative Morphology

Bahasa korea secara morfologis digolongkan sebagai bahasa aglutinatif, dimana terdapat banyak sekali affix atau partikel yang bisa digandeng dengan nomina atau predikat. Partikel ini biasanya sebagai penanda gramatikal tertentu, misalnya penanda subjek, objek, tempat dll. Yang unik, partikelnya semua berbentuk postposition atau pada bagian akhir (sufix)

SOV syntax

Tidak seperti bahasa Indonesia dan bahasa inggris, pola sintaksis bahasa korea agak berbeda. Dalam bahasa korea, posisi V ada di bagian belakang, dan objek ada di tengah. Ini agak mirip dengan bahasa jepang. Subjek dan objek juga kadangkala dihilangkan jika makna sudah dapat ditebak dari situasi yang ada. Makanya bahasa korea juga disebut discourse oriented language. Sistem penamaan juga begitu. Tidak seperti orang2 indonesia yang nama marganya ada di bagian belakang, nama marga orang2 korea ada di bagian depan.

Honorific Language

Mirip seperti bahasa Jawa, bahasa korea juga punya speech level. Hanya saja dalam bahasa ini, leksim yang digunakan tak banyak berubah. Yang berubah hanya partikelnya saja. Misal saja partikel 'imnida' digunakan untuk menyapa orang yang lebih tinggi statusnya, sedang 'yeo' digunakan untuk teman yang setara, atau bahkan jika sudah dekat sekali bisa tanpa partikel.

Jumat, 18 Juli 2008

If: a presupposition trigger of Non Truth


If a man could be two places at one time,
I'd be with you....
Lyric Fragment: If by Bread

jika aku bisa ada di dua tempat secara bersamaan, maka aku akan bersamamu
atau
jika aku bisa membelah diri, aku bakalan bersamamu
atau
jika badanku bisa terbagi, aku akan bersamamu

begitulah, dari tadi if... if... if.... yang artinya kalau... kalau.... kalau.... dari potongan lagunya bread, kita tahu bahwa seseorang tak bisa berada pada dua tempat pada waktu yang sama. Dari mana kita bisa mempunyai pemikiran seperti itu? karena ada kata kata "if". Dimana dengan kata kata ini, sesuatu dapat diindikasikan tidak atau belum bisa terjadi

if i had wings, then i would fly

apakah saya punya sayap? tentu tidak. Hal ini akan berbeda jauh apabila kita hilangkan if-nya

i had wings, then i would fly

ini malah artinya saya punya sayap adan akan terbang...
begitulah... if ini menjadi salah satu andalan dari para calon pemimpin kita yang berkampanye, baik presiden, gubernur, atau bupati. Namun seringkali janji ini pada akhirnya diingkari.
Jika saya jadi presiden, maka saya tidak akan menaikan harga BBM

Saat mereka menjabat memang berbeda saat mereka kampanye. Ternyata ketika menjabat, bensik naik 3X dari 2500 sampai sekarang berkisar 6000 rupiah! ini Karena penekanan yang terjadi bukan pada janji untuk tidak menaikan BBM, tapi lebih pada If, nya. "saya belum jadi prsiden" begitu kira-kira...he...he...

makan tempe pake bakso urat
listrik mati ada kereta lewat
ketika kampanye semua terasa dekat dengan rakyat
tak tahu nanti kalau sudah menjabat

Interpreting: Terjemahan dan Budaya

Perempuan di Aceh tanpa Jilbab

wow! mungkinkah? well, i guess it's almost impossible. Mereka memang punya strong belief yang sudah membudaya. Sehingga every girl and woman must wear veil. Sekarang back to the previous statement. Dari situ, semua wanita yang ada harus menggunakan Jilbab jika ingin diterima. Diterima disini maksudnya adalah you can get along with them. Walaupun bukan satu satunya faktor, hal budaya ini cukup berpengaruh dalam proses interpreting

bayangkan saja Anda adalah seorang wanita yang berprofesi sebagai interpreter, lalu dikirim ke Aceh. Ketika menerjemahkan, otomatis Anda menggunakan jilbab. Hal ini dilakukan agar semua proses berjalan dengan lancar. Dan tentang budaya ini bukan saja dalam budaya berpakaian, tapi juga budaya lain. Misalnya saja, joke.

Anda menjadi penerjemah untuk duta besar indonesia di satu negara, sebut saja Amerika. Saat itu presiden amrik came and talked with indonesian ambassador. Lalu anda menerjemahkan omongan dia. Si presiden lalu membuat joke. Tapi joke ini tak lucu dalam bahasa indonesia?! gimana?

A. Tetap menerjemahkan
B. Minta duta besar indonesia untuk tertawa, supaya menghormati presiden amrik
C. Menerangkan bahwa presiden amrik sedang membuat lelucon yang tak lucu dalam bahasa indonesia

Sabtu, 12 Juli 2008

Penerjemahan: Bebas Nilaikah?

Ideologi Penerjemahan
Pada Novel Les MIserable Karya Victor Hugo Oleh Su Manshu

Pendahuluan

Les Miserable adalah salah satu novel berbahasa Prancis karya Victor Hugo yang cukup populer. Novel ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa, dan yang terbanyak adalah bahasa inggris. Di Cina, novel ini diterjemahkan oleh Su Manshu, seorang wanita Cina yang dilahirkan di Jepang.

Dalam penerjemahan, wajar saja jika terjadi pergeseran, baik dalam tataran semantik, atau sintaksis. Ini karena struktur bahasa target, belum tentu sama persis dengan bahasa sasaran. Namun dalam penerjemahan novel ini ke bahasa cina,yang terjadi bukan hanya pergeseran dibidang kebahasaan saja.

Strategi yang digunakan Manshu adalah penerjemahan bebas atau unfaithful. Dalam penerjemahan ini pergeseran bisa terjadi 100%. Kelebihan menggunakan strategi ini adalah, penerjemah mampu mengubah, tak hanya bahasa, namun juga esensi dari teks awal sehingga hasil penerjemahan bisa berbeda 180 derajat dibanding teks sumber. Sekedar catatan saja, Manshu juga hidup di era dinasti Qing yang feudal serta masyarakat Cina yang menganut paham budaya dan politik Konfusianisme. Selain itu pengaruh ideologi Manshu yang menganut agama Budha memberikan warna tersendiri pada novel terjemahan Les Miserable dalam bahasa cina.

Pengaruh Ideologis

Hitam dan Putih Bishop Uriel

Salah satu tokoh dalam novel Les Miserables ini, yaitu Bishop Uriel, digambarkan Hugo sebagai karakter yang bijaksana dan baik hati.

That which enlightened this man was his heart. His wisdom was made of the light which comes from there.1
...
He inclined towards all that groans and all that expiates. The universe appeared to him like an immense malady; everywhere he felt fever, everything he heard the sound of suffering, and, without seeking to solve the enigma, he strove to dress the wound. The terrible spectacle of created things developed tenderness in him; he was occupied only in finding for himself, and in inspiring others with the best way to compassionate and relieve. That which exists was for this good and rare priest a permanent subject of sadness which sought consolation.2
There are men who toil at extracting gold; he toiled at the extraction of pity. Universal misery was his mine. The sadness which reigned everywhere was but an excuse for unfailing kindness. Love each other; he declared this to be complete, desired nothing further, and that was the whole of his doctrine.3

Namun dalam terjemahanya, Manshu menggambarkan Bishop Uriel secara berbeda. Salah satunya adalah kalimat ini "贪和尚慷慨留客 苦华贱委婉陈情"”. Dalam bahasa Indonesia, ini bisa diterjemahkan kira kira begini “ Biksu yang serakah itu menawarkan untuk singgah ditempatnya”

Masih tentang Bishop Uriel. Salah satu chapter dalam novel ini berjudul Tranquilty, yang artinya dalam bahasa indonesia kira kira adalah ketenangan. Namun dalam terjemahan salah satu paragraf pada novel tersebut, perspektif berbeda Manshu sangat terlihat. Kalimat itu kira kira menggambarkan tentang Bishop Uriel yang sangat tenang dalam menghadapi satu situasi.

.....说罢,歇了半刻,华贱忽然现出一种希奇的样子,两只手捏了拳头,睁了一双凶狠狠的眼睛,对主教道:"哎呀!现在你留我住下,还离你这样近吗?"刚说到这里,就停住了,忽然又哈哈一笑。
主教看见这样情形,心里倒有些惊慌。(PEI:142)

Namun ia menambah satu kalimat yang merupakan poerspektifnya sendiri. Kalimat tersebut digarisbawahi pada kutipan diatas. Kira kira terjemahanya dalam bahasa indonesia begini. “Pendeta itu merasa sedikit panik”. Hal ini tentu saja tak sesuai dengan judul chapter-nya, dan membuat image negatif pada Bishop Uriel.

Manshu adalah seorang Budha yang cukup taat. Bahkan ia adalah seorang Biksu. Sedangkan novel tersebut kental dengan nuansa Kristen. Budha dan Kristen adalah dua agama yang berbeda, dimana secara fundamental doktrin keduanyapun berbeda. Pemutarbalikan deskripsi tentang Bishop Uriel dan menambah nambahi terjemahan dengan komentarnya sendiri adalah salah satu usahanya untuk memberikan sentimen agama.

Penciptaan Salah Satu Karakter baru- Ming Nande

Selain hal diatas, Manshu juga menampilkan karakter baru yang tidak ada di dalam novel aslinya, yaitu Ming Nande. Ming disini mulai muncul pada buku ke 7. Pada akhirnya, Ming bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri karena tak bisa membunuh Nepoleon. Di sini terlihat harapan Ming yang sebenarnya tidak suka dengan pemerintahan Napoleon. Ia berharap akan terjadinya revolusi pada pemerintahan Napoleon. Alih alih merubah plot secara total (misal membunuh napoleon), ia menampilkan seorang pejuang rakyat. Disini kita bisa melihat ketidaksetujuanya terhadap pemerintahan feudal, yang dalam hal ini prancis dan cina pada saat itu adalah sama. Sama sama feudal. Inipun sejalan dengan ketidaksetujuanya pada sistem pemerintahan feudal, dimana pengabdian pada pemimpin menjadi salah satu doktrin, sejahat apapun pemimpin mereka. Nampaknya ia berusaha menunjukan kesalahan sistem pemerintahan dengan novel terjemahanya.

Ketidaksetujuanya terhadap Konfusianisme tidak sepenuhnya. Ajaran konfusianisme yang sampai sekarang masih sedikit banyak mempengaruhi ideologi cina, membatasi hubungan antara wanita dan pria. Semacam jarak maya diciptakan untuk membatasi hubungan mereka
In this moment Nande knew it was the girl that he was worrying about. Then he affectionately held up her slim waist and kissed her several times (This is a western custom, please don't be surprised!)... (emphasis mine) (PEI 1982:168)9
Kata kata yang digaris kurung menunjukan bahwa berpelukan dan berciuman bukanlah budaya timur atau tidak sejalan dengan konfusianisme.
If one can do his filial duties, he is a good person. It is unnecessary to talk such nonsense as fighting against injustice. (ibid:150)13

Baik dalam konfusianisme atau Budhisme, patuh pada orang tua adalah suatu hal yang wajib hukumnya. Tuturan diatas yang digaris bawahi merupakan tuturan dari ayah Ming Nande. Sekali lagi, dalam menerjemahkan, Manshu tak bisa lepas dari ideologi konfusianismenya

Kesimpulan

Novel Les Miserables terdiri dari 5 volume dan dari 5 volume tersebut ada 9 buku. Diantara 9 buku tersebut, ia tidak menerjemahkan buku yang pertama. Selain mendekonstruksi karakter Bishop Uriel dan penciptaan karakter baru, fakta ini memperjelas sikap Manshu, yang tak bisa lepas dari pengaruh agama budha, kepercayaan konfusianisme, budaya cina, dan pengalamnya yang pernah berada di bawah sistem pemerintahan feudal. Jelas sudah pergeseran yang terjadi dalam penerjemahan les miserables ini tidak hanya dari segi bahasa, namun juga ideologi.


artikel ini diadaptasi oleh Prihantoro, dari artikel Li Li dalam Translation Journal yang berjudul Ideological Manipulation in Translation in a Chinese Context:Su Manshu's Translation of Les Misérables

Rabu, 02 Juli 2008

Sampai Mati tak Bicara

Saya teringat pengalaman saya ketika menjadi presenter makalah di UI. Saat itu ada salah seorang pemakalah dari Sumatra Utara. Ia menceritakan tentang fenomena kebudayaan di daerahnya. Pada salah satu suku di Sumatra Utara, ada tradisi yang unik. Seorang menantu laki-laki, pada suku ini, tidak boleh bicara pada ibu mertuanya, dan juga sebaliknya. Apabila mereka ingin berkomunikasi, maka mereka harus menitipkan pesan pada orang lain.

Karena tidak bertemu langsung, miskomunikasi seringkali terjadi diantara mereka. Misal ketika si mertua ingin pulang dari sebuh acara, dimana yang membawa kendaraan hanyalah si menantu. Ia lalu menitipkan pesan pada anaknya, 'tolong bilang sama si ucok, antarlah aku pulang, sudah lElah akuy disini'. Sang anakpun mencari suaminya, lalu bilang begini 'Bang, Mamak minta kau antar pulang,

Selasa, 01 Juli 2008

Language Learning Vs Language Acquisition

Dalam Bahasa Indonesia, dua hal tadi diterjemahkan sebagai Pembelajaran Bahasa dan pemerolehan Bahasa. Jadi ada dua terminologi yang sedikit berbeda, antara pembelajaran dan pemeroleh. Language learning identik dengan proses formal pembelajaran bahasa yang ada di kelas, sekolah, bimbingan belajar atau kampus. Sedang Language Acquisition lebih luas dari itu. Proses ini terjadi di luar kampus, atau institusi pembelajaran. Language Acquisition bisa terjadi di warung nasi kucing, mall, bahasa slang dari radio atau film dan lain lain

Fenomena yang menarik dari dua tipe pembelajaran ini adalah, yang biasanya 'melekat' lebih lama adalah pemerolehan bahasa. Ada satu tes dimana 10 mahasiswa dihadapkan pada sebuah film berbahasa inggris dengan subtitle bahasa indonesia. Lalu ada 10 mahasiswa diminta mendengarkan lagu berbahasa inggris berserta terjemahanya. Di sisi lain, 10 mahasiswa berbeda di berikan vocabulary drill. Lalu diberikan vocab test dengan 20 item. Dua puluh item tersebut ada dalam esensi vocabulary drill dan film yang ditonton tadi. Ternyata hasil yang lebih baik adalah mahasiswa yang dari grup pertama dan kedua

Keunikan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan

Bahasa jawa dialek Banyumas dan sekitarnya (Purwokerto, Brebes, Tegal dll), acapkali dianggap sebagai bahasa jawa yang tingkatanya lebih rendah. Secara historis, hal ini disebabkan jauhnya lokasi Banyumas dari pusat pemerintahan dan budaya di pulau jawa, yang dikuasai Solo dan Yogya (termasuk bahasa).

Walaupun lebih rendah, namun keunggulan bahasa jawa dialek Banyumas adalah bahasa ini dianggap lebih kolegial, jauh dari kesan formal seperti bahasa jawa dialek Solo atau Yogya. Jika dilihat fitur fonologisnya, bahasa jawa dialek banyumas paling mudah dikenali dengan bunyi glotal, /k/ dan /g/, pada posisi akhir.Hal ini bahkan acapkali digunakan sebagai senjata untuk memunculkan kesan lucu. Coba saja anda minta satu orang dari Solo dan satu orang lagi dari Purwokerto untuk membaca kalimat berikut ini

Bapake teka kene nggawa katok kotak kotak karo gerobag katrok